Pages

Wednesday, December 24, 2014

Prinsip Koreksi Myopi, Hipermetropia, dan Presbiopi





Mata sehat dan berfungsi baik adalah dambaan semua manusia. Namun, ada kalanya mata kita akan mengalami kelainan akibat kesalahan posisi dalam membaca ataupun nutrisi yang kurang. Kelainan pada mata juga dapat disebabkan oleh usia yang menyebabkan kurangnya kekuatan lensa mata. Berikut beberapa kelainan pada akomodasi lensa mata beserta koreksinya.

1.                              1. Prinsip Koreksi Miopia

Menurut Fauziah, Hidayat, dan Julizar (2014), miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasaan sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina (bintik kuning). Berbagai faktor yang berperan dalam perkembangan miopia telah diidentifikasi melalui beberapa penelitian. Prevalensi miopia 33-60% pada anak dengan kedua orang tua miopia. Pada anak yang memiliki salah satu orang tua miopia prevalensinya 23-40%, dan hanya 6-15% anak mengalami miopia yang tidak memiliki orang tua miopia. Disamping faktor keturunan, faktor lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan miopia pada anak. Faktor lingkungan yang paling banyak berperan pada miopia adalah kerja jarak dekat seperti membaca. Lama membaca dapat mempengaruhi pertumbuhan aksial bola mata akibat insufisiensi akomodasi pada mata.Tingkat pendidikan dihubungkan juga dengan lamanya kerja jarak dekat sehingga meningkatkan risiko miopia. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi prevalensi terjadinya miopia karena kecenderungan lebih banyak melakukan aktivitas melihat jarak dekat.

Keadaan miopia ini bisa dikoreksi dengan lensa sferis negatif atau cekung. Prinsip dasarnya adalah lensa negatif digunakan untuk memindahkan (memajukan) objek pada jarak tak hingga agar menjadi bayangan di titik jauh mata tersebut sehingga mata dapat melihat objek dengan jelas (dalam Priambodo, Rizal, dan Halomoan:2012)


Koreksi Untuk Penderita Miopia


2.                              2. Hipermetropia

Priambodo, Rizal, dan Halomoan (2012) menyatakan orang yang menderita rabun dekat atau hipermetropi tidak mampu melihat dengan jelas objek yang terletak di titik dekatnya tapi tetap mampu melihat dengan jelas objek yang jauh (tak hingga). Titik dekat mata orang yang menderita rabun dekat lebih jauh dari jarak baca normal (25 cm). Cacat mata hipermetropi dapat diperbaiki dengan menggunakan lensa konvergen yang bersifat mengumpulkan sinar. Lensa konvergen atau lensa cembung atau lensa positif dapat membantu lensa mata agar
dapat memfokuskan bayangan tepat di retina.


Koreksi Untuk Hipermetropi


3.                             3.Presbiopia.

Menurut Guyton dan Hall (2007), semakin tua seseorang maka lensa akan menjadi kurang elastik akibat denaturasi protein lensa yang progresif. Kemampuan lensa untuk berubah bentuk pun berkurang. Daya akomodasi akan berkurang dari 14 dioptri pada saat anak-anak menjadi 2 dioptri saat mencapai usia 45-50 tahun. Daya dioptri akan menjadi 0 saat usia mendekati 70 tahun. Akibatnya lensa tidak dapat berakomodasi sama sekali yang disebut dengan ‘presbiopia’. Pada presbiopia, matanya akan terfokus pada satu jarak dan tidak akan berubah, dan mata pun tidak berakomodasi dengan baik untuk melihat jarak dekat ataupun jauh. Agar dapat melihat benda pada jarak jauh dan jarak dekat, pada orang yang mengalami presbiopia harus menggunakan kacamata bikonkaf (cembung-cekung). Bagian atas lensa untuk penglihatan jauh dan bagian bawah untuk penglihatan dekat.


Koreksi Pada Presbiopia


Sumber:
 Fauziah, Mutia Maulud; M. Hidayat;  Julizar (2014) “Hubungan Lama Aktivitas Membaca dengan Derajat Miopia pada Mahasiswa Pendidikan Dokter FK Unand Angkatan 2010” Jurnal Kesehatan Andalas. 3(3) : 431-436

Priambodo, Wisudantyo Wahyu; Rizal, Achmad; Halomoan, Junartho (2012) “Perangkat Pengukur Rabun Jauh Dan Rabun Dekat Pada Mata Berbasis Mikrokontroler” Jurnal Teknologi 5(2) 90-97


Guyton, Arthur C., & Hall, John E. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (11 ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mengapa Kita Menguap Saat Mengantuk?



Huaahh... Itulah bunyi uapan kita saat mengantuk atau bosan. Menguap sebenarnya adalah hal yang alamiah dalam tubuh. Hmm, pernahkah kita bertanya mengapa menguap adalah pertanda kita untuk tidur?
1.      Ternyata Banyak Teori Tentang ‘Menguap’

Menguap atau yawn masih banyak diperdebatkan oleh para peneliti. Namun, ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan mengapa kita menguap. Boredom theory (teori kebosanan) mengatakan bahwa saat merasa bosan, proses respirasi akan menjadi lebih pelan dan akhirnya kita akan menguap untuk mengambil udara lebih banyak dengan cara menguap. Sedangkan Brain Cooling Theory menyatakan bahwa menguap adalah salah satu cara untuk mendinginkan otak yang sedang dalam keadaan panas. Lebih aneh lagi, dalam teori evolusi, dahulu kita menguap untuk pertahanan diri dari mahluk lain karena saat kita menguap mulut akan terbuka dan memperlihatkan gigi (dalam Callentine: 2014).

2.      Menguap Adalah Pertanda Tubuh Butuh Tidur

Menurut Acosta-Peña E dan Murillo-Rodríguez E (2009), menguap adalah salah satu tanda bahwa tubuh membutuhkan tidur.Dalam jurnal mereka, mereka menyatakan Kuniomi Ishimori dan Henri Piéron menemukan bahwa ada peranan hormon yang membuat kita terangsang untuk menguap saat kita hendak tidur. Hormon-hormon tersebut adalah apomorphine, serotonergic, physostigmine, choligernic, ACTH, dan peptida. Hormon-hormon tersebut juga akan merangsang tubuh untuk tidur.  Ketika hormon apomorphine dalam keadaan rendah, akan menyebabkan hypotalamic dopaminergic dan nigrostriatal dopaminergic terhambat. Nigrostriatal dopaminergic yang terhambat akan mengeksitasi serotonergic. Eksitasi serotogenic juga memicu physostigmine meningkat dan mengeksitasi choligernic. Selain itu, ACTH akan meningkat dan menyebabkan peningkatan peptida di sel saraf dan di ptiuatari. Peptida akan merangsang pengeluaran choligernic yang akan merangsang pusat pengaturan ‘menguap’ di cerebellum’ aktif sehingga kita menguap.


Gambar 2.1: Mekanisme Hormon Dalam Menguap


Gambar 2.2: Pusat Kontrol 'Menguap' 


Saat kita hendak tidur, sistem saraf parasimpatik akan terangsang dan membuat kerja tubuh menurun, termasuk kerja respirasi dalam tubuh. Namun, saat kita belum mengingkan untuk tidur (mungkin karena harus mengerjakan tugas :D) dan pernafasan kita telah melambat akibat kerja sistem saraf parasimpatik, akibatnya tubuh kekurangan oksigen. Akhirnya, untuk memenuhi kebutuhan oksigen yang kurang, pusat menguap di cerebellum merangsang kita untuk menguap untuk mendapatkan oksigen dari udara yang masuk saat menguap. Saat menguap, mulut kita akan terbuka lebar untuk memasukkan udara dan wajah pun otomatis akan berkerut sehingga menekan kelenjar lakrimalis di os lakrimal, menyebabkan kita mengeluarkan sedikit air mata saat menguap. Selain itu, berkerutnya wajah menyebabkan kelenjar saliva di oral tertekan dan membuat kita mengeluarkan air liur saat menguap (dalam Juan: 2006)

.
3.      Pentingnya Menguap Bagi Kesehatan

Menguap ternyata penting bagi kesehatan tubuh kita. Menurut Juan (2006), menguap penting untuk membuka saluran eustachius dan menyesuaikan tekanan udara di telinga tengah. Selain itu, menguap juga penting untuk mencegah kompilkasi pernafasan psaca bedah. Kemudian, untuk penderita penyakit fisik berat seperti tumor dan pendarahan otak, mereka tidak akan bisa menguap hingga penyakit fisiknya tersebut sembuh secara total. Bahkan ada penelitian yang menyebutkan bahwa orang yang mengalami penyakit kejiwaan tidak akan menguap karena mengalami kerusakan otak.

Sumber:
Callentine, Lainna (2014) The Electrifying Nervous System. United States of America: New Leaf Publishig Group.

García-García F, Acosta-Peña E dan Venebra-Muñoz A, Murillo-Rodríguez E (2009) “Sleep-inducing factors” CNS Neurol Disord Drug Targets. 8(4):235-244


Juan, Stephen (2006) Tubuh Ajaib: Membuka Misteri-Misteri Aneh dan Menajubkan Tubuh Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Mengapa Kita Bersendawa?





Sendawa adalah salah satu kebiasaan yang dianggap ‘memalukan’ oleh masyarakat kita. Tapi, sebenarnya apa yang membuat kita bisa bersendawa?
1.      Mekanisme Sendawa

Menurut Sherwood  (2011), saat kita bernafas, sfingter faringosefagus akan menutup saluran esophagus. Hal tersebut terjadi untuk mencegah udara masuk kedalam saluran pencernaan saat kita bernafas. Saat proses menelan, sfingter ini akan membuka agar bolus bisa masuk ke esophagus. Namun, saat kita bernafas dan sfingter ini tidak menutup sempurna esophagus,  maka saluran pencernaan akan menerima banyak gas. Gas dalam saluran pencernaan akan dikeluarkan dalam bentuk flatus (kentut) dan eructation (sendawa). Sendawa atau eructation merupakan fungsi fisiologi normal yang terjadi ketika udara dan gas yang tertelan atau berasal dari makanan terakumulasi dalam gaster dikeluarkan (dalam Han Seung Ryu, Suck Chei Choi, and Joon Seong Lee : 2014)

Saat makan, tekanan di lambung (gaster) meningkat seiring teregangnya dinding lambung yang terisi makanan. Namun peningkatan tekanan di lambung berlangsung lambat karena peningkatan volume seiring dengan pangkat tiga jari-jari (R3) lambung, tetapi tegangan (gaya peregangan lambung) berbanding lurus dengan jari-jari. Peningkatan tekanan lebih bermakna ketika ada udara yang tertelan saat makan atau dari makanan dan minuman bergas seperti kol dan soft drink. Udara yang terperangkap dalam lambung akan menekan katup yang menutup antara gaster dengan esofagus, lalu menggetarkan pita suara di laring yang disebut dengan sendawa (dalam Cameron, Skofronick, dan Grant: 2006).

Menurut Han Seung Ryu, Suck Chei Choi, and Joon Seong Lee (2014), mekanisme sendawa adalah saat udara atau gas terkumpul dibagian fundus lambung. Penambahan volume fundus lambung oleh gas ini merangsang transient lower esophageal sphincter relaxation (tLESR), lalu diikuti oleh pergerakan gas dari gaster ke esofagus. Penggembungan tiba-tiba pun terjadi di esofagus karena udara mengalami refluks (kembali) dan merangsang refleks gelombang peristaltik kedua di esofagus yang dapat membuka LES (lower esophageal sphincter) dan UES (upper esophageal sphincter), sehingga menyebabkan kita bersendawa.



2.      Makanan atau Minuman Apa Saja yang Menyebabkan Kita Bersendawa?
Makanan dan minuman yang kita konsumsi ternyata juga menyebabkan kita bersendawa. Makanan kaya serat seperti sayur-sayuran dan kacang-kacangan, produk makanan dari susu,dan makanan dengan pemanis buatan dapat menyebabkan kita bersendawa. Ada juga sayuran tertentu yang mengandung gas seperti kol dapat membuat kita bersendawa. Selain itu, minuman-minuman soft drink juga bisa menyebabkan kita bersendawa. Hal tersebut dikarenakan soft drink mengandung gas CO2 (dalam Liebmann-smith dan Egan : 2007)

3.      Sendawa Ternyata Juga ‘Pertanda’ Penyakit
Sendawa merupakan hal yang normal, tetapi sendawa juga bisa menjadi pertanda bagi kelainan dalam tubuh. Menurut Liebmann-smith dan Egan (2007), sendawa berlebihan bisa menunjukkan adanya penyakit seperti defisiensi laktase (intoleransi laktase). Penyakit ini disebabkan karena tubuh tidak memiliki enzim laktase, sehingga produk makanan yang mengandung laktosa seperti susu tidak akan tercerna sempurna dan akhirnya menghasilkan gas. Selain itu, sendawa berlebihan juga menunjukkan adanya   gastroesophageal reflux disease (GERD), yakni makanan atau asam lambung mengalami refluks ke esofagus. Kemudian, sendawa yang tidak normal juga menandakan adanya gangguan kantung empedu atau bahkan kanker kolon dan esofagus. Tanda-tanda lain kondisi ini mungkin meliputi turunnya berat badan, munculnya edema (pembengkakan), muntah darah, dan tinja berdarah.

Sumber:
Cameron, Skofronick, dan Grant (2006) Fisika Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Han Seung Ryu, Suck Chei Choi, and Joon Seong Lee (2014) “Belching (Eructation)” The Korean Journal of Gastroenterology. 64(1):4-9
Liebmann-smith, Joan dan Egan, Jacqueline Nardi (2007) Sinyal-Sinyal Bahaya Dalam Tubuh Anda ‘BODY SIGNS’ Dari Ujung Rambut Hingga Ujung Kaki. Jakarta: Ufuk Publishing House

Sherwood, Lauralee. (2011). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem (6 ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mengapa Kita Bisa Tersedak?



Gambar 1.1 : Pertolongan Pada Orang Tersedak

Kita sudah tidak asing lagi dengan istiilah ‘tersedak’ didalam kehidupan kita sehari-hari. Tersedak atau choking inibisa dialami oleh siapapun, mulai dari bayi hingga orangtua. Namun, bagaimana tersedak bisa terjadi?

1.     1. Proses Menelan (Deglutition)

Menurut Tortora dan Derickson (2009), proses menelan atau deglutition adalah pergerakan makanan dari oral kedalam gaster yang difasilitasi oleh sekret dari kelenjar saliva dan mukus, yang melibatkan oral, faring, dan esophagus. Proses menelan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu

a.       Tahap voluntary, dimana bolus melewati orofaring
b.      Tahap Pharyngeal, yakni secara tidak sadar (involunter) bolus melewati faring untuk masuk ke esophagus
c.       Tahap Esophageal, yakni secara tidak sadar (involunter) bolus melewati esophagus untuk masuk kedalam gaster 

2.     2. Tersedak Karena ‘Kesalahan’ Tahap Pharyngeal dalam Proses Deglutition

Pada tahap pharyngeal, bolus menstimulasi reseptor di orofaring. Lalu, impuls yang diterima reseptor tersebut dikirimkan ke deglutition center atau ‘pusat menelan’ di medulla oblongata dan pons bagian inferior di brain stem. Pusat menelan akan merespon impuls tersebut dengan mengirimkan impuls ke efektor, yakni soft palate dan uvula akan menutup nasofaring sehingga bolus tidak akan ‘masuk’ kedalam rongga hidung. Selain soft palate dan uvula, epiglotis akan menutup saluran laring sehingga bolus tidak akan memasuki saluran pernafasan (Tortora dan Derickson: 2009).

Namun, jika epiglotis tidak menutup laring yang merupakan salah satu jalur dalam saluran pernafasan, akibatnya bolus malah akan memasuki saluran pernafasan. Masuknya bolus kedalam saluran pernafasan disebut dengan tersedak (Sherwood:2011). Masuknya bolus tersebut bisa mengganggu jalannya pernafasan, bahkan jika tidak segera tertolong, seseorang yang tersedak bisa saja mengalami kematian.


Gambar 2.1: Tersedak Karena Epiglotis Tidak Menutup Sempurna 


3.      3. Apa Saja yang Membuat Epiglotis Tidak Menutup Laring Secara Sempurna Saat Kita Menelan?

Epiglotis yang tidak menutup laring bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut Sherwood (2011), faktor yang menyebabkan banyak orang tersedak adalah saat makan sambil berbicara. Ya, saat kita berbicara pada waktu hendak menelan, epiglotis tidak akan menutup laring. Laring sendiri merupakan ‘kotak suara’ di pintu masuk trakea karena mengandung pita suara di saluran pernafasan. Seseorang bisa berbicara karena udara yang masuk menggetarkan pita suara. Pada saat kita makan sambil berbicara, epiglotis tidak akan menutup laring agar udara tetap bisa menggetarkan pita suara. Akibatnya, bolus yang sedang ditelan ‘masuk’ kedalam saluran pernafasan dan membuat orang tersebut tersedak.

Tersedak tidak hanya disebabkan saat kita makan sambil berbicara, tetapi juga faktor lainnya. Menurut Chandrasoma dan Taylor (2006), tersedak juga bisa disebabkan karena adanya kelainan dari epiglotis, esophagus, dan juga sistem saraf yang mengatur proses menelan. Pada kasus penderita kasus Epiglotitis (infeksi epiglotis), epiglotis akan mengalami pembengkakan sehingga tidak dapat ‘menjalankan’ tugasnya menutup saluran pernafasan saat makan. Lalu, pada kasus kelainan esofagus kongenital seperti fistula trakeoesofageal (kegagalan perkembangan esofagus) yang dapat membuat bolus masuk ke trakea. Kelainan neurologi, yakni pada sistem saraf pengatur proses menelan seperti rusaknya medulla oblongata dan saraf-saraf (baik itu reseptor, sensorik, ataupun motorik) dapat juga membuat epiglotis tidak dapat menutup saluran pernafasan saat kita menelan makanan.

4.      4. Apa yang Harus Dilakukan Saat Ada Yang Tersedak?

Saat ada yang tersedak, segeralah melakukan pertolongan. Jika tidak, maka akan berakibat fatal bagi si ‘korban tersedak’ tersebut. Langkah-langkah yang dapat kita lakukan untuk menolong korban tersedak menurut Department of Human Services Division of Developmental Disabilities (2010) adalah:

a.       Pegang perut si korban tersedak kuat-kuat dari belakang (seperti posisi memeluk)
b.      Tekan kuat-kuat perut si korban sampai bolus yang ‘tersangkut’ di dalam saluran pernafasan keluar.
c.       Kita juga dapat menepuk-nepuk bagian dorsal atau punggung si korban kuat-kuat untuk mengeluarkan bolus tersebut.

Sumber:
Chandrasoma, Parakrama dan Taylor, Clive R. (2006) Ringkasan Patologi Anatomi Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Department of Human Services Division of Developmental Disabilities (2010) “Healthy and Safety Alert Choking” Journal Article. Vol. 10 No.12: 10-15.
Sherwood, Lauralee (2011) Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Tortora, Gerard J. dan Derickson, Bryan (2009) Principles of Anatomy and Phisiology 12th edition. United States of America: Jhon Willey and Sons Inc.